Kamis, 05 Juli 2012

Profil Keiko Kitagawa

konichiwa.....
kali ini saya akan berbagi profil artist cantik andalan saya dari negeri sakura. yaa namanya adalah keiko kitagawa.....









Profile

  • Name: 北川景子 (きたがわ けいこ)
  • Name (romaji): Kitagawa Keiko
  • Profession: Actress and model
  • Birthdate: 1986-Aug-22
  • Birthplace: Kobe, Hyogo, Japan
  • Height: 160cm
  • Weight: 42kg
  • Star sign: Leo
  • Blood type: O
  • Talent agency: Stardust
Keiko-chan lahir pada tanggal 22 Agustus 1986 di Prefektur Hyogo, Jepang, dan memiliki seorang adik laki-laki. Dia dibesarkan di Kobe, dan kehilangan banyak teman dalam gempa besar Hanshin pada tahun 1995. Sebagai seorang anak, ia ingin menjadi dokter, tetapi pada saat dia di SMA dia tidak yakin apakah dia bisa melakukan itu, dan tidak yakin pula apa yang harus dilakukannya di masa depan. Pada saat itu, dia dibina oleh agen bakat, dan dia memutuskan untuk mencoba dunia hiburan. Orangtuanya awalnya menentang, tetapi akhirnya mengijinkan dengan 2 syarat: bahwa ia akan menyerah jika tidak membuat kemajuan dalam setahun, dan bahwa ia akan mendahulukan studinya dan lulus dari universitas *good parents :) * Dia telah menepati setengah dari janji itu, yaitu lulus dalam Commercial Science dari Universitas Meiji di Tokyo pada Maret 2009.
Satu tahun batas waktu tidak terbukti menjadi masalah. Dalam seminggu atau lebih ia bergabung dalam agen, ia telah dipilih baik sebagai model maupun aktris. Keiko-chan bahkan terpilih sebagai Miss Seventeen pada 2003, yang menyebabkan ia bekerja sebagai model dengan Seventeen Jepang sampai dia lulus dari majalah tersebut pada bulan September 2006. Pada bagian akhir perjalanan karirnya di majalah tersebut, ia memiliki fitur tetapnya sendiri, ”Keiko’s Beauty Honey”.
Peran pertama yang memulai karirnya sebagai seorang aktris adalah peran Rei Hino atau lebih dikenal sebagai Sailor Mars dalam serial televisi live-action dari Sailor Moon. Peran film pertamanya yang signifikan ada di Mamiya Kyōdai, dan sebagai akibat dari pengaruh sang sutradara film tersebut, Yoshimitsu Morita, ia memutuskan untuk berkonsentrasi pada akting daripada modelling. Dia awalnya berkonsentrasi pada film, termasuk peran utama dalam Cherry Pie dan Dear Friends. pada akhir 2007, ia mendapatkan peran utama pertamanya di sebuah drama TV, yaitu Mop Girl. Pada tahun 2008, ia diberi peran heroine dalam Homeroom on The Beachside, yang ditayangkan Fuji TV setiap Senin malam untuk drama musim panas. Karena ini adalah drama untuk jaringan utama, ini merupakan langkah maju yang besar bagi karir Keiko.
Kemudian Keiko-chan pindah ke Tokyo saat ia mulai bekerja sebagai aktris dan model. Dia pergi ke California untuk pembuatan film The Fast and Furious:Tokyo Drift *wah, aku baru tau Keiko-chan ada difilm ini, dia jadi siapa ya?* dan kembali ke sana untuk belajar bahasa Inggris selama beberapa bulan sejak awal tahun 2006. Pada saat itu, dia mulai menulis sebuah blog, yang berlanjut sampai Juni 2007, dan pada Juli 2007 blog tersebut telah dihapus. Dari bulan Mei sampai Desember 2007, Keiko-chan menulis kolom berjudul Keytan Hakusho untuk majalah mingguan televisi Jepang (“Kii-tan” adalah julukan Keiko waktu di SD dan “Hakusho” berarti “kertas putih”) Dia memulai sebuah blog baru pada akhir Mei 2008, sesaat sebelum perannya dalam Homeroom on The  Beachside diumumkan. Keiko-chan menggambarkan dirinya sebagai orang rumahan, yang suka menonton DVD, mendengarkan musik, dan membaca buku *kok sama kaya aku sih? hihihi…* Ketika ditanya apa yang akan dialakukannya jika dunia ini akan berakhir besok, dia berkata ”membaca buku” *woow, she’s smart*. Dia juga suka berenang, khususnya gaya punggung. Keiko-chan juga memiliki hewan peliharaan, yaitu seekor kucing jantan, yang dinamakannya Jill.
Oh ya saat ini, Keiko-chan berada di bawah naungan Stardust Promotion, bersama Hayato Ichihara, Munetaka Aoki, Okada Masaki, Erika Sawajiri, Yuko Takeuchi, Kaho, dan lain-lain :)

TV Shows

  • Nazotoki wa Dinner no Ato de as Hosho Reiko (Fuji TV, 2011)
  • Kono Sekai no Katasumi ni as Suzu (NTV, 2011)
  • LADY~Saigo no Hanzai Profile~ as Kazuki Shoko (TBS, 2011)
  • Tsuki no Koibito as Onuki Yuzuki (Fuji TV, 2010)
  • Hitsudan Hostess as Saito Rie (TBS, 2010)
  • Buzzer Beat as Shirakawa Riko (Fuji TV, 2009)
  • Taiyo to Umi no Kyoshitsu as Enokido Wakaba (Fuji TV, 2008)
  • Mop Girl as Hasegawa Momoko (TV Asahi, 2007)
  • Pretty Guardian Sailor Moon as Hino Rei/Sailor Mars (TBS, 2003-2005)

TV Show Theme Songs

  • Sakura Fubuki, from Pretty Guardian Sailor Moon (TBS, 2003-2005)
  • Hoshi Furu Yoake, from Pretty Guardian Sailor Moon (TBS, 2003-2005)

Movies

  • Magic Tree House (animated film) as the voice of Jack (2012)
  • Paradise Kiss as Hayasaka Yukari ‘Caroline’ (2011)
  • Matataki / Blink as Sonoda Izumi (2010)
  • Shikeidai no Elevator / Elevator To The Gallows as Matsumoto Miyako (2010)
  • Hana no Ato / After The Flowers as Ito (2010)
  • Watashi Dasuwa / It’s On Me (2009)
  • Manatsu no Orion / Orion in Midsummer as Shizuko/Izumi (2009)
  • Handsome Suit as Hoshino Hiroko (2008)
  • Southbound as Uehara Youko (2007)
  • Sono Toki wa Kare ni Yoroshiku / Say Hello For Me as Katsuraki Momoko(2007)
  • Heat Island as Nao (2007)
  • Dear Friends as Rina (2007)
  • Cherry Pie as Kiyohara (2006)
  • The Fast and The Furious 3: Tokyo Drift as Reiko (2006)
  • Mamiya Kyoudai as Honma Yumi (2006)
  • Mizu ni Sumu Hana/Romance of Darkness as Mizuchi Rikka (2006)
  • Kirari Super Live as Hino Rei/Sailor Mars (2004)

Endorsements

  • Sumitomo Life (2011)
  • Kanebo: ALLIE (2011)
  • Asahi: Kutsurogi Jikomi Beer (2010)
  • with and Samantha Thavasa (2010)
  • Ajinomoto: Knorr Cup Soup (2010)
  • Sony: Sony Cyber-shot (2010)
  • Sony: Sony α (2010)
  • SEED (2010)
  • Kanebo: SALA (2009)
  • All Nippon Airways: Okinawa 2008 (2008)
  • Kanaflex (2008)
  • Glico: Breo (2008)
  • Suntory: Capsela (2008)
  • Glico: Palitte (2008)
  • Kanebo Cosmetics: Coffret D’Or (2007)
  • NTT: DoCoMo 2.0 (2007-2008)
  • Suntory: Let’s Diet Water (2007)

Recognitions

  • 13th Nikkan Sports Drama Grand Prix (Summer 2009): Best Actress for Buzzer Beat
  • 55th Television Drama Academy Awards: Special Award for Mop Girl

Trivia

  • Education: Meiji University (Major in Commercial Science, March 2009 graduate).
  • Hobbies: Studying, reading, swimming, calligraphy, and badminton
  • Family: Father, Mother, younger brother and a pet cat named, Jill/Jiru.
  • She won the Miss Seventeen 2003 title and became a model in the Japanese Seventeen magazine from 2003-2006.



Sumber :http://kurokurozu.wordpress.com/2011/11/23/keiko-kitagawa/

TARI PAKARENA (TARI TRADISIONAL MAKASSAR)


Memang tak ada orang yang tahu persis sejarah Pakarena. Tapi dari cerita-cerita lisan yang berkembang, tak diragukan lagi tarian ini adalah ekspresi kesenian rakyat Gowa.
Menurut Munasih Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Sebagai seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi ini tidak menyurutkan hati masyarakat untuk menggeluti aktifitas yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan yang menghubungkan diri mereka dengan Yang Kuasa.
Belakangan ini tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah daerah (pemda) telah menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan bantuan tukang seniman standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar bisa dinikmatin orang luar. Untuk mendongkrak pendapatan daerah, alasannya. Sebagian seniman mengikuti standar resmi dan memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman lain enggan mengikuti karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat, meski menanggung resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau tidak diundang dalam pertunjukan-pertunjukan.
Dg Mile (50 tahun), misalnya. Seniman Pakarena asal desa Kalase’rena, Kec. Barang lompo ini tergolong teguh pendirian. Ia biasanya mencari berbagai cara berkelit untuk tidak menghadiri undangan departemen pariwisata. Kadang beralasan sedang ada acara ritual sendiri di kampungnya atau menghadiri sunatan dan pengantin tetangganya, atau kalau pun tidak bisa menolak maka ia akan menuntut syarat agar teman-temannya tidak terlantar usai pertunjukan.
Cara lain yang agak berbeda ditunjukkan Sirajuddin Bantam. Anrong guru Pakarena dari Gowa ini terang-terangan menolak tampil jika ada pejabat yang mau mendikte tampilan penarinya. Bahkan saat diminta tampil, ia tidak segan mempertanyakan lebih dulu keperluan pertunjukan itu dan sejauh mana menguntungkan teman-temannya. Karena ia tahu ada jenis tarian yang bisa dipertontonkan dan mana yang hanya bisa tampil di acara-acara tertentu. Sirajuddin juga kadang ngibulin pejabat yang menuntut tampilan tertentu dengan tiba-tiba mengubah sendiri skenario tarian di atas panggung.
Sikap yang ditempuh para seniman ini memang bukan tanpa resiko. Mereka harus merawat tradisi Pakarena dengan hidup pas-pasan tanpa bantuan pemerintah. Hanya dengan kreatifitas saja mereka bisa bersaing dengan seniman kota yang menikmati fasilitas dan kesejahteraan jauh di atas rata-rata.
Kecerdikan ini misalnya dipunyai Sirajuddin dan Dg Mile. Sirajuddin mendokumentasikan sendiri tarian Pakarena dan lalu memperkenalkannya ke publik sampai mancanegara. Tentu saja dia dan para seniman kampung yang bersamanya juga mengkreasi Pakarena ini. Tapi ia sungguh menyadari mana tarian yang bisa dikreasi dan mana yang tidak. “Royong yang biasa dipakai ritual, tak perlu ditampilkan. Hanya pakarena Bone Balla yang ditampilkan,” ujar pemilik sanggar tari Sirajuddin ini, sembari menjelaskan bahwa Bone Balla biasa dipertontonkan kerajaan untuk menyambut para tamu.
Sementara itu, Dg Mile yang juga pemilik sanggar Tabbing Sualia ini lebih memilih tampil sendiri tanpa bergantung sama pemda. Paling banter dia dan kelompoknya hanya mau tampil bila bekerja sama dengan LSM tertentu yang peduli terhadap kesenian rakyat. ”Selama ini saya lebih suka main dengan Latar Nusa ketika mau menampilkan kesenian Pakarena di dalam dan di luar negeri,” kata Dg Mile menyebut nama LSM itu.
Begitulah, rupanya kaum seniman memiliki pengertian beda mengenai Pakarena. Orang macam Dg Mile dan Sirajuddin menyadari, Pakarena yang ”dipasarkan” pemda selama ini cenderung terpisah dari kehidupan, tradisi, dan makna yang diimajinasikan komunitas. Proses itu hanya menguntungkan seniman kelas menengah di kota dan kepentingan tertentu di pemerintahan. Seperti keinginan pemda mengubah pakaian penari tradisi di Sulsel agar sesuai dengan norma agama tertentu.
Jelas ini melahirkan kerisauan. Dg Mile sampai-sampai menjelaskan berulangkali kalau Pakarena tidaklah syirik karena ditujukan kepada Yang Kuasa. Sirajuddin pun meminta agar para agamawan tidak menggunakan syariat yang formalis saja dalam menilai kesenian, tapi menggunakan hakikat atau tarekat. “Jika pemahaman mereka benar, tidak ada kesenian kita yang bertentangan dengan agama,” ujar Sirajuddin, sambil mencontohkan istilah passili dalam Pakarena yang berarti memerciki para seniman dan peralatannya dengan sejumput air agar membawa keberuntungan, selaras dengan agama. ”Lalu mana lagi yang harus diberi warna atau nuansa agama,” kata Sirajuddin mengakhiri argumentasinya.
Kalau sudah begini, soalnya menjadi tergantung siapa yang menafsir. Kebenaran kembali ada dalam keyakinan para penghayatnya. Bukan elit agama atau birokrasi yang kerap memonopoli makna.[Liputan oleh Syamsurijal Adhan]
Sikap batinnya hening, penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan penari ini adalah tarian kas masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus melakukan upacara ritual adat yang disebut jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemeyan dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukan berlangsung.
Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.
Ini dulunya, pada upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana. Namun dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama terhadap suami.
Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian.
Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.
Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya.
Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan. Namun tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.
Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang empu Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan. Untuk tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini. Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan perempuan Gowa.
Mak Joppong tak pernah mau ambil pusing dengan bayaran yang diterimanya. Dedikasi penuh pada tarian ini, membuatnya rela menerima seberapapun besarnya bayaran yang diberikan si pengundang.
Padahal selepas ditinggal suaminya wafat, kehidupannya banyak bergantung pada kesenian yang telah lama diusungnya ini. Namun biasanya, ia menerima bayaran sekitar 500 ribu hingga 1 juta rupiah, untuk tampil semalam suntuk, termasuk biaya sewa pakaian dan alat-alat.
Tubuh yang sudah renta termakan usia. kulit yang semakin keriput sejalan perjalanan hidup, tak membuatnya surut dalam berkarya bersama Tari Pakarena. Bahkan untuk membagi kebisaan yang didapat dari ayahnya ini. Ia sejak tahun 1978, mengajarkan Tari Pakarena kepada para gadis di kampungnya di Desa Kambini, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa.
Di rumahnya, yang merupakan rumah panggung kas Gowa yang disebut Balarate, para gadis melangkah, melengok, mengerakan tangannya mengikuti gerak si empu Pakarena Mak Joppong.
Saat ini ada 6 gadis yang menjadi anak didiknya, dan tak sepeserpun, Mak Joppong memunggut biaya. Tari Mak Joppong amat terasa sedih disaat salah seorang anak didiknya memasuki jenjang pernikahan.
Karena biasanya, usai menikah, anak didiknya tak lagi menekuni Tari Pakarena. Sebuah kebiasaan di Gowa, adalah hal yang tabu dan malu, bila seorang perempuan yang telah menikah tampil di muka umum.
Pandangan umum inilah yang menyebabkan Tari Pakarena seolah hanya selesai sampai di situ. Padahal tidak demikian buat Mak Joppong, Pakarena adalah Tarian sakral yang tidak semua perempuan mampu menarikannya. Ketekunan dan kesabaran menjadi modal utama buat Penari Pakarena. Itulah salah satunya yang dimiliki Mak Joppong hingga kini.
Kini nasib Tari Pakarena seolah hanya bersandar pada Mak Joppong semata. Selain hanya ia yang paham akan seluk beluk tarian ini, ia pula lah yang tetap setia mengusung tari tradisional yang pernah jaya di masa kerajaan Gowa dulu.
Penari Pakarena, begitu lembut mengerakan anggota tubuhnya. Sebuah cerminan wanita Sulawesi Selatan. Sementara iringan tetabuhan yang disebut Gandrang Pakarena, seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh, selintas tak seiring dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan kaum pria Sulawesi Selatan yang keras.
Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda penontonya.
Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.
Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh terutama kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan Gandrang.
Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang dengan menggunakan stik atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan.
Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh kepada penonton. Mereka begitu bersemangat, seakan tak ingat lagi waktu pertunjukan yang biasanya berlangsung semalam suntuk.
Semangat inipula yang membuat para pemain musiknya semakin menjadi. Waktu bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Namun entah sampai kapan Gandrang Pakarena akan terus ada.
Nasibnya amat bergantung pada Tarian Pakarena sendiri yang kini masa depannya seolah hanya berada di tangan Mak Joppong. Muda-mudahan semangatnya tak akan pudar, seiring dengan irama musiknya yang mencerminkan kerasnya lelaki Sulawesi Selatan. (Sup)



SUMBER : http://southcelebes.wordpress.com/2008/08/11/profil-tari-pakarena-makassar/

Jumat, 29 Juni 2012

sejarah Kerajaan Gowa





Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate, hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.

Mendengar ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).

Tidak lama kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara). Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar.

Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.

Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.

Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon.

Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.

Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.

Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:

“Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein”

Yang artinya sebagai berikut:

“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya”.

Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:

1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.

Yang artinya sebagai berikut :

1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.

Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.

Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII (1320).

Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar Tumapa’risi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI dan XVII. Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi, ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan Bone. Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang Makassar (1666-1669).

Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah Perang Makassar.

Jumat, 15 Juni 2012

BIOGRAFI B' z


Konichiwa.....
kali ini saya akan bahas tentang BAND FAVORIT ku yang berasal dari JEPANG. pokoknya mantap degh...




 



B'z adalah duo hard rock Jepang yang terdiri dari Tak Matsumoto dan Koshi Inaba. Duo ini dikontrak label rekaman Vermillion Records, anak perusahaan Being. Hingga kini, B'z telah merilis 41 singel dan 23 album yang semuanya secara berturut-turut menjadi nomor satu, dan rekaman mereka laku lebih dari 78 juta kopi di Jepang.



~Pendirian hingga singel perdana

   B'z berawal dari tahun 1987, ketika gitaris Tak Matsumoto yang bekerja untuk produser rekaman Being ingin mendirikan band sendiri. Sebagai musisi studio, Matsumoto berpengalaman sebagai musisi pendukung dalam konser TM Network dan Mari Hamada. Di sebuah majalah musik, Matsumoto mengumumkan dirinya membentuk band bersama seorang vokalis, tapi akhirnya rencana tersebut batal.

   Produser rekaman sekaligus direktur utama Being, Hiroyuki Nagato mengetahui Matsumoto sedang mencari vokalis. Pada Mei 1988, Matsumoto mendapat sebuah pita demo dari Nagato, di dalamnya berisi suara Kōshi Inaba. Pada waktu itu, Inaba yang masih bersekolah, menyanyikan lagu "T-Born Shuffle" dari T-Bone Walker, "You Shook Me" dari Led Zeppelin, dan "Honesty" dari Billy Joel. Dua atau tiga tahun sebelum B'z didirikan, Nagato memang sudah menaruh minat terhadap bakat Inaba.

   Setelah dipertemukan oleh Nagato, Inaba dan Matsumoto berjanji untuk bertemu. Di kemudian hari Matsumoto berkata, "Pita demo-nya juga sudah dengar, foto dia juga sudah lihat, hati aku sudah mantap untuk memilih dia." Di sebuah studio kecil bernama Sound Joaker, keduanya bertemu pertama kalinya. Mereka berdua hanya main dua lagu, "Let It Be" dan "Oh! Darling" dari The Beatles. Peralatan di studio waktu itu sedang rusak. Beberapa hari kemudian, keduanya bertemu lagi, dan sepakat untuk meluncurkan karier bersama. Setelah itu, keduanya membentuk B'z, dan merilis singel perdana "Dakara Sono Te o Hanashite" sekaligus album perdana B'z pada 21 September 1988.

   Keduanya hanya perlu waktu singkat, sekitar 4 bulan mulai dari pertemuan pertama hingga penampilan pertama B'z di depan publik. Ketika B'z sudah terbentuk, persiapan peluncuran karier mereka berlangsung tanpa persetujuan keduanya.

   Pada masa-masa ketika B'z didirikan, ada tradisi "pendatang baru diberhentikan dari dunia artis bila hingga tiga album namun tidak menghasilkan satu pun lagu hit". Pada waktu itu Matsumoto memiliki "cita-cita dalam 3 tahun untuk bisa menjadi sampul majalah Gb (waktu itu merupakan majalah musik paling laku), dalam 3 tahun masuk dalam peringkat Oricon (nomor 1 hingga 50), dan halaman kiri-kanan majalah berisi tentang B'z."

~Awal karier hingga kini

   Ketika masih baru, B'z diikutsertakan dalam tur keliling TM Network. Dalam rangka promosi mereka, Matsumoto mengadakan seminar gitar untuk menarik perhatian penggemar. Seminar baru berlangsung setengah jalan ketika harus terputus oleh konser promisi B'z. Promosi mereka dilakukan besar-besaran, keduanya mengingat bahwa "penggemar begitu banyak yang ingin berjabat tangan, hingga sidik jari kami terhapus; badan jadi bungkuk setelah terlalu banyak membungkukkan badan (menyapa penggemar). Jadwal mereka waktu itu hanya promosi dan temu penggemar.

   Usaha mereka ternyata tidak berhasil. Singel dan album perdana mereka sama sekali tidak masuk di urutan 100 teratas Oricon. B'z baru populer setelah merilis album mini Bad Communication pada tahun 1989. Lagu andalan "Bad Communication" mulai menarik perhatian pendengar radio kabel Usen. Selama 163 minggu, "Bad Communication" bertahan sebagai lagu hit di tangga lagu Oricon, walaupun tidak pernah masuk ke urutan 10 teratas. Singel ke-4, "Be There" merupakan lagu pertama B'z yang masuk ke urutan 10 teratas tangga lagu Oricon. Pada tahun yang sama, B'z akhirnya berhasil menempatkan singel ke-5, "Taiyō no Komachi Angel" di peringkat nomor satu Oricon.

   Setelah "Taiyō no Komachi Angel", setiap singel yang dikeluarkan B'z selalu menempati peringkat nomor satu di Oricon. Pada tahun 2007 atas rekomendasi Steve Vai, B'z menjadi Asia pertama yang cap telapak tangan dan tanda tangannya diabadikan di Hollywood's RockWalk.

~Discographi

PETUALANGAN

Kuingin menjalani hidupku... sepenuhnya
Membuka mataku untuk semua Kemungkinan
Menempuh jalan yang belum pernah ditempuh dan bertemu wajah - wajah baru
Merasakan hal baru, menggapai bintang dilangit
Aku berjanji untuk menemukan diriku
Berdiri tegak penuh percaya diri
Dan meraih semua mimpi....

Motivasi


Ketika kumohon pada Allah Kekuatan,
Allah memberiku kesulitan, agar aku menjadi kuat.
Ketika kumohon pada Allah Kebijaksanaan,
Allah memberiku masalah, untuk kupecahkan.
Ketika kumohon pada Allah Kesejahteraan,
Allah memberiku akal pikiran, untuk berpikir.
Ketika kumohon pada Allah Keberanian,
Allah memberiku kondisi bahaya, untuk kuatasi.
Ketika kumohon pada Allahn cinta,
Allah memberiku orang-orang bermasalah, untuk kutolong.
Ketika kumohon pada Allah bantuan,
Allah memberiku kesempatan.
Aku tak selalu menerima apa yang kuminta,
Tetapi aku menerima segala yang kubutuhkan.