Kamis, 05 Juli 2012

Profil Keiko Kitagawa

konichiwa.....
kali ini saya akan berbagi profil artist cantik andalan saya dari negeri sakura. yaa namanya adalah keiko kitagawa.....









Profile

  • Name: 北川景子 (きたがわ けいこ)
  • Name (romaji): Kitagawa Keiko
  • Profession: Actress and model
  • Birthdate: 1986-Aug-22
  • Birthplace: Kobe, Hyogo, Japan
  • Height: 160cm
  • Weight: 42kg
  • Star sign: Leo
  • Blood type: O
  • Talent agency: Stardust
Keiko-chan lahir pada tanggal 22 Agustus 1986 di Prefektur Hyogo, Jepang, dan memiliki seorang adik laki-laki. Dia dibesarkan di Kobe, dan kehilangan banyak teman dalam gempa besar Hanshin pada tahun 1995. Sebagai seorang anak, ia ingin menjadi dokter, tetapi pada saat dia di SMA dia tidak yakin apakah dia bisa melakukan itu, dan tidak yakin pula apa yang harus dilakukannya di masa depan. Pada saat itu, dia dibina oleh agen bakat, dan dia memutuskan untuk mencoba dunia hiburan. Orangtuanya awalnya menentang, tetapi akhirnya mengijinkan dengan 2 syarat: bahwa ia akan menyerah jika tidak membuat kemajuan dalam setahun, dan bahwa ia akan mendahulukan studinya dan lulus dari universitas *good parents :) * Dia telah menepati setengah dari janji itu, yaitu lulus dalam Commercial Science dari Universitas Meiji di Tokyo pada Maret 2009.
Satu tahun batas waktu tidak terbukti menjadi masalah. Dalam seminggu atau lebih ia bergabung dalam agen, ia telah dipilih baik sebagai model maupun aktris. Keiko-chan bahkan terpilih sebagai Miss Seventeen pada 2003, yang menyebabkan ia bekerja sebagai model dengan Seventeen Jepang sampai dia lulus dari majalah tersebut pada bulan September 2006. Pada bagian akhir perjalanan karirnya di majalah tersebut, ia memiliki fitur tetapnya sendiri, ”Keiko’s Beauty Honey”.
Peran pertama yang memulai karirnya sebagai seorang aktris adalah peran Rei Hino atau lebih dikenal sebagai Sailor Mars dalam serial televisi live-action dari Sailor Moon. Peran film pertamanya yang signifikan ada di Mamiya Kyōdai, dan sebagai akibat dari pengaruh sang sutradara film tersebut, Yoshimitsu Morita, ia memutuskan untuk berkonsentrasi pada akting daripada modelling. Dia awalnya berkonsentrasi pada film, termasuk peran utama dalam Cherry Pie dan Dear Friends. pada akhir 2007, ia mendapatkan peran utama pertamanya di sebuah drama TV, yaitu Mop Girl. Pada tahun 2008, ia diberi peran heroine dalam Homeroom on The Beachside, yang ditayangkan Fuji TV setiap Senin malam untuk drama musim panas. Karena ini adalah drama untuk jaringan utama, ini merupakan langkah maju yang besar bagi karir Keiko.
Kemudian Keiko-chan pindah ke Tokyo saat ia mulai bekerja sebagai aktris dan model. Dia pergi ke California untuk pembuatan film The Fast and Furious:Tokyo Drift *wah, aku baru tau Keiko-chan ada difilm ini, dia jadi siapa ya?* dan kembali ke sana untuk belajar bahasa Inggris selama beberapa bulan sejak awal tahun 2006. Pada saat itu, dia mulai menulis sebuah blog, yang berlanjut sampai Juni 2007, dan pada Juli 2007 blog tersebut telah dihapus. Dari bulan Mei sampai Desember 2007, Keiko-chan menulis kolom berjudul Keytan Hakusho untuk majalah mingguan televisi Jepang (“Kii-tan” adalah julukan Keiko waktu di SD dan “Hakusho” berarti “kertas putih”) Dia memulai sebuah blog baru pada akhir Mei 2008, sesaat sebelum perannya dalam Homeroom on The  Beachside diumumkan. Keiko-chan menggambarkan dirinya sebagai orang rumahan, yang suka menonton DVD, mendengarkan musik, dan membaca buku *kok sama kaya aku sih? hihihi…* Ketika ditanya apa yang akan dialakukannya jika dunia ini akan berakhir besok, dia berkata ”membaca buku” *woow, she’s smart*. Dia juga suka berenang, khususnya gaya punggung. Keiko-chan juga memiliki hewan peliharaan, yaitu seekor kucing jantan, yang dinamakannya Jill.
Oh ya saat ini, Keiko-chan berada di bawah naungan Stardust Promotion, bersama Hayato Ichihara, Munetaka Aoki, Okada Masaki, Erika Sawajiri, Yuko Takeuchi, Kaho, dan lain-lain :)

TV Shows

  • Nazotoki wa Dinner no Ato de as Hosho Reiko (Fuji TV, 2011)
  • Kono Sekai no Katasumi ni as Suzu (NTV, 2011)
  • LADY~Saigo no Hanzai Profile~ as Kazuki Shoko (TBS, 2011)
  • Tsuki no Koibito as Onuki Yuzuki (Fuji TV, 2010)
  • Hitsudan Hostess as Saito Rie (TBS, 2010)
  • Buzzer Beat as Shirakawa Riko (Fuji TV, 2009)
  • Taiyo to Umi no Kyoshitsu as Enokido Wakaba (Fuji TV, 2008)
  • Mop Girl as Hasegawa Momoko (TV Asahi, 2007)
  • Pretty Guardian Sailor Moon as Hino Rei/Sailor Mars (TBS, 2003-2005)

TV Show Theme Songs

  • Sakura Fubuki, from Pretty Guardian Sailor Moon (TBS, 2003-2005)
  • Hoshi Furu Yoake, from Pretty Guardian Sailor Moon (TBS, 2003-2005)

Movies

  • Magic Tree House (animated film) as the voice of Jack (2012)
  • Paradise Kiss as Hayasaka Yukari ‘Caroline’ (2011)
  • Matataki / Blink as Sonoda Izumi (2010)
  • Shikeidai no Elevator / Elevator To The Gallows as Matsumoto Miyako (2010)
  • Hana no Ato / After The Flowers as Ito (2010)
  • Watashi Dasuwa / It’s On Me (2009)
  • Manatsu no Orion / Orion in Midsummer as Shizuko/Izumi (2009)
  • Handsome Suit as Hoshino Hiroko (2008)
  • Southbound as Uehara Youko (2007)
  • Sono Toki wa Kare ni Yoroshiku / Say Hello For Me as Katsuraki Momoko(2007)
  • Heat Island as Nao (2007)
  • Dear Friends as Rina (2007)
  • Cherry Pie as Kiyohara (2006)
  • The Fast and The Furious 3: Tokyo Drift as Reiko (2006)
  • Mamiya Kyoudai as Honma Yumi (2006)
  • Mizu ni Sumu Hana/Romance of Darkness as Mizuchi Rikka (2006)
  • Kirari Super Live as Hino Rei/Sailor Mars (2004)

Endorsements

  • Sumitomo Life (2011)
  • Kanebo: ALLIE (2011)
  • Asahi: Kutsurogi Jikomi Beer (2010)
  • with and Samantha Thavasa (2010)
  • Ajinomoto: Knorr Cup Soup (2010)
  • Sony: Sony Cyber-shot (2010)
  • Sony: Sony α (2010)
  • SEED (2010)
  • Kanebo: SALA (2009)
  • All Nippon Airways: Okinawa 2008 (2008)
  • Kanaflex (2008)
  • Glico: Breo (2008)
  • Suntory: Capsela (2008)
  • Glico: Palitte (2008)
  • Kanebo Cosmetics: Coffret D’Or (2007)
  • NTT: DoCoMo 2.0 (2007-2008)
  • Suntory: Let’s Diet Water (2007)

Recognitions

  • 13th Nikkan Sports Drama Grand Prix (Summer 2009): Best Actress for Buzzer Beat
  • 55th Television Drama Academy Awards: Special Award for Mop Girl

Trivia

  • Education: Meiji University (Major in Commercial Science, March 2009 graduate).
  • Hobbies: Studying, reading, swimming, calligraphy, and badminton
  • Family: Father, Mother, younger brother and a pet cat named, Jill/Jiru.
  • She won the Miss Seventeen 2003 title and became a model in the Japanese Seventeen magazine from 2003-2006.



Sumber :http://kurokurozu.wordpress.com/2011/11/23/keiko-kitagawa/

TARI PAKARENA (TARI TRADISIONAL MAKASSAR)


Memang tak ada orang yang tahu persis sejarah Pakarena. Tapi dari cerita-cerita lisan yang berkembang, tak diragukan lagi tarian ini adalah ekspresi kesenian rakyat Gowa.
Menurut Munasih Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Sebagai seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi ini tidak menyurutkan hati masyarakat untuk menggeluti aktifitas yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan yang menghubungkan diri mereka dengan Yang Kuasa.
Belakangan ini tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah daerah (pemda) telah menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan bantuan tukang seniman standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar bisa dinikmatin orang luar. Untuk mendongkrak pendapatan daerah, alasannya. Sebagian seniman mengikuti standar resmi dan memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman lain enggan mengikuti karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat, meski menanggung resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau tidak diundang dalam pertunjukan-pertunjukan.
Dg Mile (50 tahun), misalnya. Seniman Pakarena asal desa Kalase’rena, Kec. Barang lompo ini tergolong teguh pendirian. Ia biasanya mencari berbagai cara berkelit untuk tidak menghadiri undangan departemen pariwisata. Kadang beralasan sedang ada acara ritual sendiri di kampungnya atau menghadiri sunatan dan pengantin tetangganya, atau kalau pun tidak bisa menolak maka ia akan menuntut syarat agar teman-temannya tidak terlantar usai pertunjukan.
Cara lain yang agak berbeda ditunjukkan Sirajuddin Bantam. Anrong guru Pakarena dari Gowa ini terang-terangan menolak tampil jika ada pejabat yang mau mendikte tampilan penarinya. Bahkan saat diminta tampil, ia tidak segan mempertanyakan lebih dulu keperluan pertunjukan itu dan sejauh mana menguntungkan teman-temannya. Karena ia tahu ada jenis tarian yang bisa dipertontonkan dan mana yang hanya bisa tampil di acara-acara tertentu. Sirajuddin juga kadang ngibulin pejabat yang menuntut tampilan tertentu dengan tiba-tiba mengubah sendiri skenario tarian di atas panggung.
Sikap yang ditempuh para seniman ini memang bukan tanpa resiko. Mereka harus merawat tradisi Pakarena dengan hidup pas-pasan tanpa bantuan pemerintah. Hanya dengan kreatifitas saja mereka bisa bersaing dengan seniman kota yang menikmati fasilitas dan kesejahteraan jauh di atas rata-rata.
Kecerdikan ini misalnya dipunyai Sirajuddin dan Dg Mile. Sirajuddin mendokumentasikan sendiri tarian Pakarena dan lalu memperkenalkannya ke publik sampai mancanegara. Tentu saja dia dan para seniman kampung yang bersamanya juga mengkreasi Pakarena ini. Tapi ia sungguh menyadari mana tarian yang bisa dikreasi dan mana yang tidak. “Royong yang biasa dipakai ritual, tak perlu ditampilkan. Hanya pakarena Bone Balla yang ditampilkan,” ujar pemilik sanggar tari Sirajuddin ini, sembari menjelaskan bahwa Bone Balla biasa dipertontonkan kerajaan untuk menyambut para tamu.
Sementara itu, Dg Mile yang juga pemilik sanggar Tabbing Sualia ini lebih memilih tampil sendiri tanpa bergantung sama pemda. Paling banter dia dan kelompoknya hanya mau tampil bila bekerja sama dengan LSM tertentu yang peduli terhadap kesenian rakyat. ”Selama ini saya lebih suka main dengan Latar Nusa ketika mau menampilkan kesenian Pakarena di dalam dan di luar negeri,” kata Dg Mile menyebut nama LSM itu.
Begitulah, rupanya kaum seniman memiliki pengertian beda mengenai Pakarena. Orang macam Dg Mile dan Sirajuddin menyadari, Pakarena yang ”dipasarkan” pemda selama ini cenderung terpisah dari kehidupan, tradisi, dan makna yang diimajinasikan komunitas. Proses itu hanya menguntungkan seniman kelas menengah di kota dan kepentingan tertentu di pemerintahan. Seperti keinginan pemda mengubah pakaian penari tradisi di Sulsel agar sesuai dengan norma agama tertentu.
Jelas ini melahirkan kerisauan. Dg Mile sampai-sampai menjelaskan berulangkali kalau Pakarena tidaklah syirik karena ditujukan kepada Yang Kuasa. Sirajuddin pun meminta agar para agamawan tidak menggunakan syariat yang formalis saja dalam menilai kesenian, tapi menggunakan hakikat atau tarekat. “Jika pemahaman mereka benar, tidak ada kesenian kita yang bertentangan dengan agama,” ujar Sirajuddin, sambil mencontohkan istilah passili dalam Pakarena yang berarti memerciki para seniman dan peralatannya dengan sejumput air agar membawa keberuntungan, selaras dengan agama. ”Lalu mana lagi yang harus diberi warna atau nuansa agama,” kata Sirajuddin mengakhiri argumentasinya.
Kalau sudah begini, soalnya menjadi tergantung siapa yang menafsir. Kebenaran kembali ada dalam keyakinan para penghayatnya. Bukan elit agama atau birokrasi yang kerap memonopoli makna.[Liputan oleh Syamsurijal Adhan]
Sikap batinnya hening, penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan penari ini adalah tarian kas masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus melakukan upacara ritual adat yang disebut jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemeyan dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukan berlangsung.
Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.
Ini dulunya, pada upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana. Namun dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama terhadap suami.
Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian.
Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.
Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya.
Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan. Namun tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.
Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang empu Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan. Untuk tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini. Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan perempuan Gowa.
Mak Joppong tak pernah mau ambil pusing dengan bayaran yang diterimanya. Dedikasi penuh pada tarian ini, membuatnya rela menerima seberapapun besarnya bayaran yang diberikan si pengundang.
Padahal selepas ditinggal suaminya wafat, kehidupannya banyak bergantung pada kesenian yang telah lama diusungnya ini. Namun biasanya, ia menerima bayaran sekitar 500 ribu hingga 1 juta rupiah, untuk tampil semalam suntuk, termasuk biaya sewa pakaian dan alat-alat.
Tubuh yang sudah renta termakan usia. kulit yang semakin keriput sejalan perjalanan hidup, tak membuatnya surut dalam berkarya bersama Tari Pakarena. Bahkan untuk membagi kebisaan yang didapat dari ayahnya ini. Ia sejak tahun 1978, mengajarkan Tari Pakarena kepada para gadis di kampungnya di Desa Kambini, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa.
Di rumahnya, yang merupakan rumah panggung kas Gowa yang disebut Balarate, para gadis melangkah, melengok, mengerakan tangannya mengikuti gerak si empu Pakarena Mak Joppong.
Saat ini ada 6 gadis yang menjadi anak didiknya, dan tak sepeserpun, Mak Joppong memunggut biaya. Tari Mak Joppong amat terasa sedih disaat salah seorang anak didiknya memasuki jenjang pernikahan.
Karena biasanya, usai menikah, anak didiknya tak lagi menekuni Tari Pakarena. Sebuah kebiasaan di Gowa, adalah hal yang tabu dan malu, bila seorang perempuan yang telah menikah tampil di muka umum.
Pandangan umum inilah yang menyebabkan Tari Pakarena seolah hanya selesai sampai di situ. Padahal tidak demikian buat Mak Joppong, Pakarena adalah Tarian sakral yang tidak semua perempuan mampu menarikannya. Ketekunan dan kesabaran menjadi modal utama buat Penari Pakarena. Itulah salah satunya yang dimiliki Mak Joppong hingga kini.
Kini nasib Tari Pakarena seolah hanya bersandar pada Mak Joppong semata. Selain hanya ia yang paham akan seluk beluk tarian ini, ia pula lah yang tetap setia mengusung tari tradisional yang pernah jaya di masa kerajaan Gowa dulu.
Penari Pakarena, begitu lembut mengerakan anggota tubuhnya. Sebuah cerminan wanita Sulawesi Selatan. Sementara iringan tetabuhan yang disebut Gandrang Pakarena, seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh, selintas tak seiring dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan kaum pria Sulawesi Selatan yang keras.
Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda penontonya.
Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.
Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh terutama kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan Gandrang.
Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang dengan menggunakan stik atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan.
Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh kepada penonton. Mereka begitu bersemangat, seakan tak ingat lagi waktu pertunjukan yang biasanya berlangsung semalam suntuk.
Semangat inipula yang membuat para pemain musiknya semakin menjadi. Waktu bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Namun entah sampai kapan Gandrang Pakarena akan terus ada.
Nasibnya amat bergantung pada Tarian Pakarena sendiri yang kini masa depannya seolah hanya berada di tangan Mak Joppong. Muda-mudahan semangatnya tak akan pudar, seiring dengan irama musiknya yang mencerminkan kerasnya lelaki Sulawesi Selatan. (Sup)



SUMBER : http://southcelebes.wordpress.com/2008/08/11/profil-tari-pakarena-makassar/